Menunggu Kemarahan Rakyat

Oleh Amran Nasution
Direktur Institute For Policy Studies Jakarta

Pemerintah tak bisa hanya berpihak kepada pemilik modal dengan mengorbankan buruh dan rakyat kecil. Padahal di Amerika saja, Obama berkampanye membebaskan pajak rakyat kecil, menaikkan pajak orang kaya. Malaysia sudah empat kali turunkan harga BBM, sementara Presiden SBY bertahan. Kebijakan SBY ini bermasalah dengan kebijakan AS jika presiden AS diduduki Barrack Obama.

Presiden SBY dan para menterinya salah duga. Pernyataan mereka yang mengecilkan arti krisis ini bahwa pengaruhnya hanya kecil ke Indonesia, terbukti salah. Pemerintah tak melakukan antisipasi pada krisis global yang sebenarnya sudah lama bisa dibaca. Mereka malah terlihat panik ketika krisis betul-betul menyerang. Sekarang, tentu SBY tergetar menyaksikan rupiahnya terpuruk, pasar modal yang dibanggakannya ambruk.

Apalagi pernyataan Presiden SBY bahwa kondisi kita sekarang lebih baik dibanding Rezim Orde Baru dulu dalam menghadapi krisis 1997. Itu tampaknya hanya sekadar tebar pesona dengan memuji pekerjaan sendiri, walau sebenarnya kurang relevan. Soalnya, krisis 1997 hanya menyerang kawasan regional menyangkut Thailand, Malaysia, Indonesia, Filipina, dan Korea Selatan.

Ketika rupiah terpuruk terhadap dollar waktu itu, para petani komoditas ekspor seperti kelapa sawit, karet, kakao, dan semacamnya mendapat rezeki nomplok (windfall), dengan bertambahnya rupiah yang mereka peroleh dari hasil ekspor ke Jepang, Eropa, dan Amerika Serikat, yang sama sekali tak terkena krisis. Begitu pula komoditi ekspor lainnya yang tak menggunakan kandungan impor, seperti komoditi hasil laut. Semua ini menolong Indonesia.

Sekarang semua negara yang menjadi pasar utama ekspor komoditi itu, Amerika, Eropa, dan Jepang, dilanda krisis. Maka harga kelapa sawit, karet, kakao, ikan, pakaian jadi, meubel, bahkan barang kerajinan perak di Yogyakarta, semua terpuruk. Babak berikut, saksikanlah pemutusan hubungan kerja yang akan terjadi di mana-mana. Sekarang saja, sudah ada perusahaan yang berancang-ancang merumahkan pegawai. Orang-orang menganggur itu tentu tak puas hanya dicekoki pidato dan wacana Presiden SBY melalui televisi, radio, dan koran setiap hari.

Ini beda dengan krisis dulu. Kalau waktu itu krisis menjadi parah tak lain karena dana moneter internasional, IMF, memiliki agenda politik di Indonesia untuk menjatuhkan Soeharto. Perintah IMF menutup sejumlah bank menyebabkan perbankan Indonesia lumpuh terkena rush, penarikan dana serentak oleh masyarakat yang panik. Dunia perbankan Indonesia hancur-lebur.

Sekarang krisis terjadi secara global. Hanya ketahanan ekonomi tiap negeri akan membedakan tingkat krisis. China dan India, sebagai contoh, merupakan dua negara yang menerima dampak krisis lebih kecil karena kondisi ekonominya lebih stabil dibanding Indonesia. Di India, mayoritas bank adalah BUMN, sehingga lebih gampang dikendalikan pemerintah.

Dengan sikap hati-hati dan peraturan pemerintah yang ketat koran The Washington Post, 7 Oktober 2008 menulis China dan India memiliki bank dengan peraturan paling ketat di dunia -- bank di kedua negara relatif aman.

Apa yang terjadi di India dan China tentu amat beda dengan Indonesia yang sangat liberal. Bursa Effek Indonesia (BEI) dikenal paling bebas di dunia sehingga mirip kasino meminjam tuduhan Senator John McCain terhadap bursa saham Wall Street di New York. Pasar uang kita juga begitu.

Yang paling merepotkan, pemerintah selama ini sangat hobi melakukan impor. Bayangkan sampai garam pun diimpor, padahal Indonesia memiliki garis pantai yang panjang, gampang membuat garam. Dengan sikap pemerintah itu masyarakat terbiasa dengan komoditi impor yang menghabiskan devisa. Dalam krisis sekarang, hobi impor pemerintah pasti merepotkan.

Pernyataan Presiden SBY tentang kuatnya fundamental ekonomi Indonesia tampaknya hanya meniru apa yang dikatakan Senator John McCain, calon presiden dari Partai Republik yang hampir pasti akan dipecundangi Barack Obama dalam pemilihan presiden Amerika Serikat, 4 November mendatang.

Ketika Lehman Brothers, salah satu lembaga keuangan terbesar di negeri itu bangkrut, tengah September lalu, John McCain mengecilkannya dengan mengatakan fundamental ekonomi Amerika baik. Sekarang ternyata Amerika babak- belur dan sudah memasuki resesi.


KRISIS KARTU KREDIT


Apalagi berbagai langkah pemerintahan SBY kentara sekali hanya untuk kepentingan pengusaha alias kaum pemodal (kapital), dengan melupakan kepentingan rakyat kecil. Contohnya Surat Keputusan Bersama (SKB) 4 menteri, 22 Oktober 2008, tentang penetapan upah minimum buruh, yang menyebutkan negosiasi dan penentuan upah diserahkan kepada pengusaha dan buruh (bipartit). Pemerintah pusat lepas tangan, tak lagi ikut-ikutan. Serahkan kepada pasar, laissez-faire.

Tapi anehnya, SKB itu membatasi gubernur dalam menetapkan upah minimum di daerahnya, dengan harus memperhatikan pertumbuhan ekonomi. Artinya, kenaikan upah buruh minimum dipatok SKB tak boleh lebih dari 6%, sesuai pertumbuhan ekonomi kita. Selama ini kenaikan upah selalu di atasnya.

Padahal inflasi sudah lebih 12%. Kenaikan gaji menjadi tak berarti karena digerus inflasi. ''Kebijakan pemerintah secara tidak langsung mensubsidi pengusaha dan mengorbankan pekerja,'' kata ekonom Universitas Gajah Mada Revrisond Baswir. Pertanyaan: kenapa dalam krisis ini yang dipaksa menderita cuma buruh, sementara pemodal banjir fasilitas?

Harga minyak dunia terus turun. Anehnya, pemerintah tak juga menurunkan harga minyak di dalam negeri. Ini bukti konkret pemerintahan SBY-Kalla tak berpihak kepada rakyatnya. Dalihnya macam-macam.

Wydia Purnama, mantan Direktur Utama Pertamina juga heran kenapa harga minyak kita tak juga diturunkan. Menurut hitung-hitungannya semestinya harga itu sudah diturunkan. Apalagi, katanya, premium yang diedarkan Pertamina di dalam negeri adalah termasuk kategori bermutu rendah yang harganya lebih murah.

Mari bandingkan pemerintan SBY dengan pemerintah Abdullah Badawi di Malaysia, tetangga kita. Sejak turunnya harga minyak mentah dunia, Malaysia sudah empat kali menurunkan harga eceran BBM di dalam negeri. Jumat, 31 Oktober lalu, kembali Perdana Menteri Badawi menurunkan harga BBM. ''Harga minyak turun di Malaysia karena harga internasional juga turun,'' kata Badawi kepada wartawan seusai memimpin rapat kabinet untuk mengambil keputusan itu. Ini namanya logika sehat, tak bersilat lidah dengan rakyat sendiri.

Dalam krisis ini, Presiden SBY tampaknya lebih memilih dekat dengan pengusaha dibanding rakyat kecil seperti kaum buruh dan pekerja. Di Beijing, sewaktu menghadiri KTT ASEM, bersama rombongan Presiden terlihat sejumlah konglomerat semacam Prayogo Pangestu dan kawan-kawan.

Pengusaha Tomy Winata dan Sofyan Wanandi, diundang hadir dalam rapat kabinet di Istana Merdeka untuk membahas krisis ekonomi. Kenapa pedagang di Pasar Tanah Abang, para pemimpin buruh, tokoh petani, tak dimintai pendapat? Padahal sudah terbukti selama ini merekalah yang menyelamatkan negeri ini dari krisis ekonomi, bukan para konglomerat hitam pengemplang BLBI yang selalu menyimpan uangnya di Singapore.

Langkah pemerintah ini terutama dalam penetapan upah buruh memang sesuai ideologi kapitalisme laissez-faire atau neoliberalisme, yaitu menyerahkan segala urusan kepada pemilik modal. Dan di semua negara kapitalis, kaum buruh selalu berada di pihak yang lemah, termasuk di Amerika Serikat. Apalagi di Indonesia dengan angka pengangguran tinggi dan kemiskinan meluas.

Sistem kapitalisme pada intinya mentrapkan pajak murah kepada para pemilik modal besar, deregulasi atau meminimkan campur tangan pemerintah ke pasar, swastaisasi perusahaan pemerintah, dan memberi kebebasan kepada pengusaha atau kaum pemodal. Pendek kata, dalam sistem ini, pemilik modal adalah segala-galanya. Katanya, itu akan memicu pertumbuhan ekonomi dan hasilnya akan merembes kepada rakyat.

Kenyataannya justru ideologi yang mengumbar ketamakan manusia itu menyebabkan terjadi ketimpangan kaya-miskin yang lebar. Sekarang terbukti laissez-faire menyebabkan krisis keuangan di Amerika Serikat, merembet ke Eropa, Asia, dan seluruh dunia.

Krisis diawali macetnya pembayaran kredit perumahan (subprime mortgage), dan diduga akan berlangsung lama. Profesor Paul Krugman, pemenang Nobel Ekonomi 2008, menduga setidaknya krisis di Amerika akan berlangsung 2 tahun.

Itu mengakibatkan pengangguran melonjak. Sekarang seperti ditulis koran The New York Times, 29 Oktober lalu, bank-bank diancam krisis baru yaitu macetnya pembayaran kartu kredit. Para penganggur tentu tak mampu membayar kartu kredit.

Tapi sebenarnya orang Amerika sejak 1980-an sudah terkenal boros dan punya hobi mengutang. Mereka menghabiskan uangnya lebih besar dari penghasilan. Caranya? Dengan pinjaman bank atau kartu kredit. Maka tiap orang di sana punya banyak kartu kredit.

Menurut koran Amerika itu bank seperti American Express, Bank of America, dan Citigroup, sudah memperketat pengeluaran kartu kredit, tak lagi diobral seperti dulu. Masalahnya selama semester pertama 2008, pembayaran kartu kredit yang macet sudah mencapai 21 milyar dollar (lebih Rp 210 triliun). Sampai pertengahan tahun depan diduga jumlah itu akan bertambah dengan 55 milyar dollar.

Laporan akhir Oktober menunjukkan perbelanjaan konsumen Amerika menurun: 3,1%/tahun untuk perbelanjaan ril, dan 14%/tahun untuk perbelanjaan awet (durable goods) seperti pesawat TV dan mobil. Profesor Paul Krugman, pemenang Nobel Ekonomi 2008, mengingatkan bahwa dalam berbagai krisis ekonomi konsumen Amerika jarang memotong belanjanya.

Selain itu, data yang diumumkan itu hanya kuartal ketiga, Juli September 2008. Krugman berpendapat pengukuran itu dilakukan sebelum konsumen kehilangan kepercayaan akibat kebangkrutan Lehman Brothers, pertengahan September, disusul terpuruknya indeks saham Dow Jones.


EUFORIA KEJATUHAN KOMUNISME

Kapitalisme laissez-faire atau neoliberalisme ditrapkan Presiden Ronald Reagan dan sekutunya dari Inggris, Perdana Menteri Margaret Thatcher, di tahun 1980-an, guna menghadapi sistem ekonomi terpusat blok komunisme pimpanan Uni Soviet dalam perang dingin.

Tembok Berlin rubuh, 1989, dan kemudian Uni Soviet bubar, 1991. Amerika dan sekutu Baratnya muncul sebagai pemenang perang dingin. Pada saat itulah Francis Fukuyama menuliskan bukunya yang amat terkenal, The End of History and the Last Man (1992).

Ahli ekonomi politik internasional dari Johns Hopkins University itu menyatakan bahwa sistem politik demokrasi liberal dan ekonomi kapitalisme merupakan akhir evolusi ideologi manusia, sehingga ia merupakan bentuk akhir dari sistem pemerintahan. Artinya, di seluruh dunia hanya ada sistem itu sebagai yang terbaik. Kemudian Presiden George Bush dengan bersemangat mengekspor ideologi itu ke seluruh dunia -- seperti terbukti di Iraq -- termasuk dengan menggunakan kekuatan senjata.

Presiden Bush gagal. Demokrasi liberal tak bisa ia paksakan. Iraq sekarang tentu bukan contoh yang baik untuk sebuah negara demokrasi, melainkan sebuah bukti kesewenang-wenangan dan arogansi Amerika Serikat. Di sinilah nyawa satu juta manusia dikorbankan, harta benda orang yang tak bersalah dimusnahkan. Semua atas nama demokrasi.

Kenyataannya demokrasi liberal dan kapitalisme tak bisa menjadi satu-satunya sistem di dunia. China, India, Iran, Rusia, dan banyak negara Amerika Latin mempraktekkan sistem yang lain. Di China dan India, misalnya, ada sistem ekonomi pasar, tapi pemerintah menyiapkan banyak peraturan (regulasi), sesuatu yang ditantang sistem kapitalisme.

Kedua negara aktif mengembangkan perusahaan negara atau BUMN yang tak sesuai dengan kapitalisme. Negara-negara itu pun tak melaksanakan sistem demokrasi liberal. Terbukti China dan India mengalami kemajuan pesat. Begitu pula sejumlah negara Amerika Latin seperti Brazil, Argentina, dan Venezuela. Mereka menolak sistem dari Amerika itu yang mereka ejek sebagai kapitalisme cowboy. Di Eropa kapitalisme cowboy dipermak jadi lebih sosialis.

Sejak reformasi 1998, Indonesia menggunakan sistem politik liberal dan ekonomi kapitalisme yang dipaksakan IMF dengan bantuan Berkeley Mafia, kelompok ekonom pendukung ideologi itu, terutama dari Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Ternyata negeri ini sampai sekarang terseok-seok: segelintir orang kaya bertambah kaya tapi orang miskin bertambah banyak. Pengangguran merebak.

Negeri ini penuh antrian, mulai antri beras miskin, minyak tanah, BLT (bantuan langsung tunai), dan zakat. Jumlah antrian terus bertambah dan di beberapa daerah pembagian zakat mengambil korban jiwa. Rupanya orang yang membutuhkan zakat terlalu banyak. Semuanya tentu menjadi bukti konkret bahwa jumlah orang miskin meningkat, sekali pun Badan Pusat Statistik yang berada di bawah Presiden SBY, mengatakan jumlah orang miskin berkurang.

Dalam krisis 1998, Thailand dan Korea Selatan mengalami dampak lebih parah dibanding China dan Malaysia. Itu karena Korea Selatan dan Thailand mengikuti tekanan Amerika Serikat meliberalkan pasar modalnya di tahun 1990-an.

Maka dana spekulan (hot money) masuk membanjiri negeri itu, untuk kemudian segera menguap dalam sekejap ketika krisis menyerang. Inilah sebenarnya yang sekarang terjadi pada pasar modal dan pasar uang Indonesia. Ia terpuruk kekeringan likuditas karena terjadi pelarian hot money dalam jumlah sangat besar ke luar dari Indonesia begitu krisis ini terjadi.

Profesor Fukuyama sendiri seperti kebingungan melihat apa yang terjadi. Dulu ia seorang pendukung neo-konservatif (Neo-kon) yang memimpikan Amerika Serikat menjadi satu-satunya kekuatan utama di dunia, sekali pun harus dicapai dengan kekuatan senjata. Belakangan ia menjadi pengeritik ide-ide Neo-kon, sekaligus pengeritik Presiden Bush yang sangat keras. Agaknya, euforia kejatuhan komunisme kini telah berakhir.

Dalam sebuah artikelnya di Newsweek, pertengahan Oktober lalu, berjudul The Fall of America, Inc, (Kejatuhan Amerika) Profesor Fukuyama seakan meratapi ambruknya mesin pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat. Apalagi Amerika menjadi ancaman yang akan menyeret dunia ke dalam krisis ekonomi.

Menurut Fukuyama, kejatuhan itu disebabkan kesalahan dari model ekonomi itu sendiri. Di bawah mantera ideologi meminimalkan campur tangan pemerintah, Washington gagal menyediakan regulasi yang berujung pada ambruknya lembaga keuangan di Wall Street. Model itu, menurut Fukuyama, cocok di zaman Reagan, tapi terbukti tak cocok lagi sekarang.



MENGADILI SANG MAESTRO

Para pendukung kapitalisme laissez-faire di Indonesia, apakah itu Presiden SBY, Menteri Keuangan Sri Mulyani, Menteri Perdagangan Marie Pangestu, Gubernur BI Budiono, atau para pengajar di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, mestinya sedih menyaksikan apa yang terjadi di sidang Komisi Pengawasan dan Reformasi Pemerintah di DPR Amerika Serikat, 23 Oktober lalu.

Di hari itu, para anggota DPR (House of Representative) ''mengadili'' Alan Greenspan, 82 tahun, mantan Ketua The Fed, Bank Sentral Amerika Serikat. Greenspan yang pernah dijuluki arsitek kemakmuran Amerika itu, dulu adalah tokoh yang amat dihormati. Ia dijuluki The Oracle, orang bijaksana.

Bob Woodward, wartawan senior The Washington Post, tersohor karena membongkar skandal Watergate yang menjatuhkan Presiden Richard Nixon, memberi gelar maestro kepada Greenspan melalui bukunya berjudul Maestro: Greenspan's Fed and the American Boom, terbit di tahun 2000.

Greenspan menjadi Ketua The Fed terlama dalam sejarah, selama 18 tahun, dari Agustus 1987 sampai Januari 2006. Pertama ia diangkat oleh Presiden Ronald Reagan. Ia terus bertahan sampai Presiden George H.Bush, Presiden Clinton, dan kemudian Presiden George Bush (muda). Pada zamannya, Greenspan dengan sangat berwibawa menjadi pengawal berlangsungnya sistem kapitalisme laissez-faire di pasar Amerika.

Ia trapkan bunga rendah, dengan pasar yang sebebas-bebasnya tanpa regulasi, tanpa peraturan pemerintah. Maka bisnis kredit perumahan mengalami booming, dan kemudian menjadi komoditi utama dalam pasar uang dan modal Amerika Serikat di Wall Street.

Berbagai upaya termasuk dari kalangan parlemen untuk membuat regulasi, selalu gagal atas perlawanan Greenspan. Tokoh ini tambah berkibar selama dua priode kepemimpinan Presiden George Bush. Apalagi ia juga mendukung Bush menyerbu Iraq.

Ada sejumlah pengeritik Greenspan seperti Profesor Joseph Stiglitz, pemenang Nobel Ekonomi 2001, atau Paul Krugman, pemenang Nobel Ekonomi 2008 dan kolumnis The New York Times. Tapi pada waktu itu gelembung ekonomi (bubble) lagi memabukkan Amerika. Mana ada yang peduli pada mereka.

Greenspan waktu itu adalah oracle atau maestro. Itu bukan cuma di Amerika. Di Indonesia, Greenspan dipuja seakan malaikat, terutama oleh intelektual pendukung kapitalisme dan media masa arus utama semacam Kompas. Sekarang, setelah gelembung itu melatus, baru orang menoleh pada pengeritiknya seperti Stiglitz dan Krugman.

Menurut The Washington Post, 24 Oktober 2008, pada anggota DPR dari Partai Demokrat memperlakukan Greenspan sebagai orang yang tak disukai. ''Ternyata pandangan Anda, ideologi Anda salah, itu telah gagal,'' kata Henry A.Waxman, ketua komisi itu. Greenspan seakan menjadi terdakwa yang bertanggung jawab atas kebangkrutan ekonomi Amerika.

''Pertanyaan saya sederhana saja: apakah Anda salah?'' kata Waxman dalam acara dengar pendapat itu. ''Ya, sebagian,'' jawab Greenspan. Pada hari itu, sang arsitek kemakmuran mengaku anggapan yang selama puluhan tahun dianutnya bahwa pasar akan melakukan pengawasan dan pengaturan sendiri (self-regulation) dalam kasus krisis finansial Amerika, tidak terjadi. ''Saya sampai sekarang masih tak percaya ini terjadi,'' katanya. Ternyata invisible hand (tangan keramat) yang mengatur pasar sehingga selalu benar, memang tak pernah ada seperti yang selama ini dikatakan para pengeritik kapitalisme.

Alan Greenspan dilahirkan di New York, di sebuah keluarga imigran Yahudi dari Hongaria (Hungary), pada 1926. Ia menyelesaikan studi sampai MA di New York University, untuk kemudian melanjutkannya ke Columbia University, salah satu universitas terkemuka Amerika. Sayang ia drop out. Maka gelar Ph D baru diperolehnya belakangan dari New York University.

Setelah ''pengakuan dosa'' Greenspan di depan komisi DPR Amerika, sesungguhnya ideologi kapitalisme laissez-faire memang harus dikubur karena telah mencelakakan dunia. Profesor Stiglitz, misalnya, telah mengusulkan sejumlah regulasi termasuk guna melindungi konsumen bank untuk dunia keuangan Amerika. Karena itu wajar berbagai undang-undang dan peraturan liberal di Indonesia harus segera ditinjau ulang.

Ini bukan kerja gampang karena sejak reformasi 1998, Indonesia sudah menjadi negara kapitalisme pengikut Amerika. Terlalu banyak undang-undang liberal disahkan DPR dan pemerintah. Sebagian di antaranya, seperti undang-undang Minyak dan Gas (Migas), rancangannya pun datang dari Amerika. Undang-undang Pendidikan menyebabkan universitas negeri sekarang sangat mahal, sehingga hanya bisa dimasuki mahasiswa kaya.

Undang-Undang Pelabuhan menyebabkan pengelolaan pelabuhan kita bisa dilakukan perusahaan asing. Padahal di Amerika Serikat saja, Dubai Port, perusahaan BUMN dari Uni Emirat Arab gagal mengelola enam pelabuhan utama Amerika karena dilarang DPR. Padahal perusahaan itu sudah memenangkan tender.

Para menteri di kabinet seperti Sri Mulyani dan Marie Pangestu dan jajaran pendukungnya, semua adalah penganut neo-liberalisme. Begitu pula banyak pengajar di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, tempat para calon ekonom utama Indonesia dicetak.

Tapi sekarang pilihannya sudah jelas: apakah kita akan meninggalkan ideologi yang sudah terbukti mendatangkan bencana, atau kita menunggu kemarahan rakyat yang senantiasa dirugikan ideologi itu?

Padahal di Amerika sendiri, Barack Obama berkampanye akan membebaskan pajak untuk orang miskin, menaikkan pajak untuk orang kaya. Ia ingin melakukan kebijakan redistribusi kekayaan yang selama ini hanya memanjakan orang kaya. Karenanya Obama dituduh sosialis.

Bagikan Info ini

Bookmark and Share
Sponsor Web Penghasil Uang

Artikel Terkait

Toko Buku Kedokteran Online

 

Lihat semua daftar posting »»Gajiku di Bisnis Internet is proudly powered by Blogger | Minima Template edited by Bowo