Sebuah suratnya di beberapa email dan suara pembaca di detik telah mebawa Prita Mulysari ke hadapan hukum. Apa yang diungkapkan Prita adalah sebuah Curhat yang ditulisnya tentang ketidakpuasannya terhadap sebuah Rumah Sakit. Silahkan membaca surat pembaca di atas untuk melihat curhat yang diuatarakan oleh Prita.
Setelah membaca surat tersebut saya sebagai seorang yang pernah menjadi pasien cukup paham dan mengerti kondisi kejiwaan Prita yang terjadi saat itu. Namun, di sini saya tidak akan mebahas Tentang rumah sakitnya.
Kondisi kejiwaan pasien saat sakit memang sangat rentan, belum lagi sakit yang diderita. Hal ini ditambah lagi dengan biaya rumah sakit yang tinggi. Semua perasaan tersebut hanya akan terbayar dengan pelayanan rumah sakit yang baik, penjelasan yang benar dari setiap pihak yang ada di Rumah sakit dan tentu saja kesembuhan. Bila satu atau lebih hal tersebut ada yang kurang maka, pasien tentu merasa sebagai pihak yang dirugikan baik sebagai yang dilayani maupun yang mengeluarkan dana untuk biaya rumah sakit.
Bila ini yang terjadi pada seorang pasien maka cuma ada 2 kemungkinan yang pertama dia hanya diam sambil memendam kesal atau menceritakan pengalamannya kepada orang lain (baik teman, keluarga atau lebih dari itu) sebagai bentuk penunjukan ketidakpuasan.
Sebenarnya, Apa yang dilakukan Prita bukanlah hal yang pertama. Banyak pasien yang merasa dirugikan telah menulis apa yang mereka rasakan di email, blog ataupun media lainnya. Seharusnya Pihak Rumah Sakit tidak perlu merasa kebakaran jenggot dengan hal ini. Yang harus dilakukan adalah penjelasan yang baik dan memuaskan pihak pasien dari sejal dini. Atau dalam bidang medis dinamakan Informed Consent
Saya yakin jika hal ini dilakukan sejak awal, dan sistem manajemen rumah sakit juga memprioritaskan pelayanan dan kepuasan konsumen, maka pasien akan merasa puas. Baik hasilnya baik ataupun tidak.
Apa yang dilakukan Prita adalah sebuah bentuk 'terapi' psikologis terakhir akibat ketidakpuasannya terhadap pelayanan RS tersebut. Ia telah mencoba mengobatinya dengan meminta penjelasan langsung, Namun itu tidak didapatkannya
Setelah membaca surat tersebut saya sebagai seorang yang pernah menjadi pasien cukup paham dan mengerti kondisi kejiwaan Prita yang terjadi saat itu. Namun, di sini saya tidak akan mebahas Tentang rumah sakitnya.
Kondisi kejiwaan pasien saat sakit memang sangat rentan, belum lagi sakit yang diderita. Hal ini ditambah lagi dengan biaya rumah sakit yang tinggi. Semua perasaan tersebut hanya akan terbayar dengan pelayanan rumah sakit yang baik, penjelasan yang benar dari setiap pihak yang ada di Rumah sakit dan tentu saja kesembuhan. Bila satu atau lebih hal tersebut ada yang kurang maka, pasien tentu merasa sebagai pihak yang dirugikan baik sebagai yang dilayani maupun yang mengeluarkan dana untuk biaya rumah sakit.
Bila ini yang terjadi pada seorang pasien maka cuma ada 2 kemungkinan yang pertama dia hanya diam sambil memendam kesal atau menceritakan pengalamannya kepada orang lain (baik teman, keluarga atau lebih dari itu) sebagai bentuk penunjukan ketidakpuasan.
Sebenarnya, Apa yang dilakukan Prita bukanlah hal yang pertama. Banyak pasien yang merasa dirugikan telah menulis apa yang mereka rasakan di email, blog ataupun media lainnya. Seharusnya Pihak Rumah Sakit tidak perlu merasa kebakaran jenggot dengan hal ini. Yang harus dilakukan adalah penjelasan yang baik dan memuaskan pihak pasien dari sejal dini. Atau dalam bidang medis dinamakan Informed Consent
Saya yakin jika hal ini dilakukan sejak awal, dan sistem manajemen rumah sakit juga memprioritaskan pelayanan dan kepuasan konsumen, maka pasien akan merasa puas. Baik hasilnya baik ataupun tidak.
Apa yang dilakukan Prita adalah sebuah bentuk 'terapi' psikologis terakhir akibat ketidakpuasannya terhadap pelayanan RS tersebut. Ia telah mencoba mengobatinya dengan meminta penjelasan langsung, Namun itu tidak didapatkannya