Fraksi-PKS Online: Bermunculannya kasus-kasus gizi buruk di beberapa daerah beberapa waktu lalu dan hingga kini membuat anggota Komisi Kesehatan DPR RI, Zuber Safawi prihatin. Hal ini dikatakannya di sela-sela waktu reses di kabupaten Kendal pekan lalu.
Zuber menilai bahwa fenomena gizi buruk adalah wujud ketidakpedulian pemerintah terhadap pembangunan potensi sumber daya manusia Indonesia di masa depan. "Angka gizi buruk yang menunjukkan tren meningkat dapat kita lihat dari besarnya pemberitaan di media meskipun hal ini terus dibantah oleh menkes," ungkap Zuber, "seharusnya Menkes lebih berempati terhadap aspirasi masyarakat, jangan ditutup-tutupi."
Menurut Zuber ada perbedaan perspektif antara Pemerintah dan masyarakat. Pemerintah cenderung menggunakan pendekatan statistik, yaitu ukuran-ukuran data yang tercatat pada suatu indikator, lokasi, dan waktu tertentu. Dari pendekatan ini, dikenal terminologi Kejadian Luar Biasa (KLB). Pendekatan ini bila tidak disikapi dengan bijak, dapat mereduksi upaya penanggulangan, apabila tindakan baru diambil ketika masalah sudah termasuk kategori KLB.
Adapun masyarakat, lanjutnya, cenderung menggunakan pendekatan empirik atau temuan-temuan yang didapati di lapangan. Dengan pendekatan ini, satu kasus yang didapati di masyarakat pun sudah berarti kasus yang butuh penanggulangan konkret. Apalagi, kasus-kasus gizi buruk dan gizi kurang di masyarakat adalah fenomena gunung es. Data yang tercatat adalah angka yang dilaporkan. Sementara, pada kenyataannya masih ada kasus-kasus yang tidak tercatat atau dilaporkan.
Pemerintah melalui Departemen Kesehatan menyatakan bahwa dari tahun 2004 hingga sekarang, kasus gizi buruk memang masih terjadi meski besarannya telah menurun. Menurut catatan media, pada tahun 2004 kasus gizi buruk dilaporkan sebanyak 5,1 juta orang, pada tahun 2005 sebanyak 4,42 juta orang, tahun 2006 sebanyak 4,2 juta, dan tahun 2007 sebanyak 4,1 juta. Direktorat Bina Gizi Masyarakat kemudian meluruskan bahwa angka-angka yang diberitakan oleh media itu adalah angka gizi kurang. Dijelaskan bahwa gizi buruk berbeda dengan gizi kurang karena ada tingkatan-tingkatan keparahan pada malnutrisi anak.
Zuber berpendapat pemerintah harus melakukan revitalisasi posyandu sebagai garda terdepan dan sarana yang efektif untuk melakukan pemantauan, pencegahan dan tindakan pertama dalam penanganan kasus gizi buruk yang terjadi di wilayahnya. "Alokasikan anggaran yang cukup untuk memberdayakan kembali posyandu" ucapnya.
Selain itu Zuber juga meminta agar pemerintah daerah cepat tanggap dalam menangani kasus gizi buruk. Sebab dalam otonomi daerah pemerintah pusat tidak bisa langsung turun tangan. (ahmad)
Pengirim: Khairunnisa Update: 30/04/2008 Oleh: Navis