Berikut ini adalah beberapa CuRHAT Dari Rekan-rekan sejawat yang berprofesi sebagai Dokter ataupun calon dokter. Mohon menjadi renungan untuk pembuat kebijakan dan para dokter senior. Ini saya ambil dari beberapa milis. selamat membaca
Pagi ini saya mencoba mengklik "Surat Pembaca KOMPAS" dan membaca keluhan seorang yang merasa dipersulit pengurusan izin praktek sebagai dokter. Dalam keluhan-keluhannya tersebut, ternyata calon dokter (muda) ini selama pendidikan sudah mengalami begitu banyak pengalaman "diperas" dan "diobyekkan" oleh senior, para pamong di tempat praktek (perawat, suster) dan mungkin juga oleh institusi (dengan biaya yang mahal sekali) dan para dosen (dengan memberikan tugas yang banyak dan menuntut). Seandainya ini menjadi pengalaman semua calon dokter-dokter kita, bisa dibayangkan isi pengalaman "apa" yang ada dalam rekaman bawah sadarnya.
Dari surat pembaca ini, saya benar-benar memahami sedikit, mengapa kepribadian para dokter sering menjadi keluhan para pasien. Karena mereka tidak memiliki soft skill yang memadai untuk melayani. Selama ini mereka diperlakukan dengan keras, diperas, diperalat dan dihisap. Dalam pengalaman di masa lampau, hubungan dengan manusia sudah dijadikan hubungan "subyek - obyek" dan bukan lagi hubungan "subyek - subyek".
Hal itu sangat berbeda dengan dokter lulusan luar. Saya mempunyai pengalaman berhubungan dengan dokter anak yang S1 dan S2-nya lulusan Filipina. Beda sekali caranya. Dia menyapa kita secara manusiawi, dia sangat care mengenai keluhan, dia dengar dulu, kemudian mencoba memeriksan dengan sepenuh hati.
Tidak heran, kalau semua pasien yang ditanganinya cepat sembuh. Mereka merasa aman dan yakin dengan dokternya, bahwa benar-benar memahami penyakit mereka. Saya juga mempunyai pengalaman dengan dokter (tidak tahu lulusan dari mana, tapi pastilah dalam negeri) menampilkan sikap diam, selama pemeriksaan hanya satu kali saja saya mendengar dia bicara pada suster untuk minta disiapkan jarum suntik, selebihnya ada dalam keheningan yang mencekam.
Saya perhatikan, dia menulis resep tanpa bertanya satu katapun pada pasien. Soft skill (hubungan pribadi, kemampuan memperlakukan orang sebagai person) kelihatannya lemah sekali.
Mudah-mudahan ini bisa menjadi renungan kita bersama, mengenai cara-cara penyelenggaraan pendidikan di negara kita.
==================================
*Mendapatkan Surat Izin Praktik Dokter Dipersulit Birokrasi*
Mahasiswa kedokteran saat pendidikan telah menghabiskan uang dalam jumlah yang tidak sedikit, khususnya di universitas swasta. Contohnya untuk masuk kuliah di kedokteran umum, mahasiswa harus mengeluarkan biaya sumbangan Rp 70 juta lebih, ditambah Rp 5 juta lebih untuk satu semester. Belum untuk biaya buku dan lain-lain serta biaya saat pendidikan profesi di rumah sakit, juga berbagai biaya siluman.
Setiap hari mahasiswa kedokteran umum maupun peserta pendidikan dokter spesialis "diperas" oleh para suster dan senior di rumah sakit yang mengharuskan mereka membelikan makanan sesuai selera para suster dan senior, dan itu bukan untuk satu atau dua orang saja. Mereka juga dipaksa mengerjakan dan menerjemahkan tugas-tugas milik seniornya, sementara tugas mahasiswa sendiri juga menumpuk. Setelah lulus, pembuatan surat izin praktik berbelit-belit dan memakan waktu berbulan-bulan.
Jika tidak punya surat izin praktik, dokter akan dipidana kurungan dan ujung-ujungnya harus mengeluarkan sejumlah uang. Begitupun kewajiban pegawai tidak tetap (PTT) yang ditetapkan pemerintah. Namanya kewajiban, tetapi untuk urusan dokumen PTT harus mengeluarkan uang cukup besar dengan berbagai alasan. Di Cikarang, Bekasi, sebenarnya kewajiban membayar Rp 100.000, tetapi oknum di dinas kesehatan setempat meminta Rp 600.000.
Dengan berbagai birokrasi dan biaya yang dikeluarkan, dokter yang baru lulus segan mengikuti program PTT. Akibatnya, untuk pengurusan surat izin praktik dan melanjutkan sekolah juga akan dipersulit. Lagi-lagi ujung-ujungnya uang.
Biasanya dokter umum jaga 24 jam hanya dibayar Rp 100.000 dengan risiko tuntutan ratusan juta rupiah jika melakukan kesalahan dan bayaran itu tidak berbeda jauh dengan upah tukang bangunan di Jakarta), Rp 75.000- Rp 80.000per delapan jam kerja.
*Heri **Cikarang, Bekasi*
Birokrasi - mematikan keterampilan soft skill individu
Gue nggak tahu sekarang, tapi pas angkatan gue lulus, dokter2 muda yang mau punya ijin praktek itu WAJIB bakti sosial di daerah, enggak di kota. Nah, untuk bakti sosial ini mah ijin nya gampang banget, dan setelah jadi 'asisten' 3 taon langsung keluar ijin prkteknya. Biasanya ijin praktek plus penugasan di daerah bakti selama 2 taon.
Kata temen angkatan gue itu, biasanya dokter dokter muda yang baru lulus tuh ogah tuh ke daerah-daerah. Maunya dapet paktek di kota-kota aje, paling di pinggir-pinggiran kota
gitu. Nah, dokter dokter yang begini, biasanya jadi bulan bulanan senior seniornya, yang merasakan susahnya hidup di daerah sebelum dapet ijin praktek.
dianggep anak manja yang menyalahi sumpah kedokteran (sumpah melayani
masyarakat, terutama yang terpencil) dan jadi dokter lantaran komersil aja lah, maunya enak di kota doank, getoh. Alhasil, dipelonco habis lah selama dia jadi yunior.
Menurut gue, dokter2 itu mah cocok cocokan, ngga ada urusannya dengan lulusan luar atau lulusan dalem. Kalau kita ketemu dokter, kita langsung tahu mana yang punya 'semangat melayani' ; mana yang pinter tapi sombong setengah mati; mana yang tegas, mana yang terlalu soft sehingga pasien nya malah gak pede.
Pagi ini saya mencoba mengklik "Surat Pembaca KOMPAS" dan membaca keluhan seorang yang merasa dipersulit pengurusan izin praktek sebagai dokter. Dalam keluhan-keluhannya tersebut, ternyata calon dokter (muda) ini selama pendidikan sudah mengalami begitu banyak pengalaman "diperas" dan "diobyekkan" oleh senior, para pamong di tempat praktek (perawat, suster) dan mungkin juga oleh institusi (dengan biaya yang mahal sekali) dan para dosen (dengan memberikan tugas yang banyak dan menuntut). Seandainya ini menjadi pengalaman semua calon dokter-dokter kita, bisa dibayangkan isi pengalaman "apa" yang ada dalam rekaman bawah sadarnya.
Dari surat pembaca ini, saya benar-benar memahami sedikit, mengapa kepribadian para dokter sering menjadi keluhan para pasien. Karena mereka tidak memiliki soft skill yang memadai untuk melayani. Selama ini mereka diperlakukan dengan keras, diperas, diperalat dan dihisap. Dalam pengalaman di masa lampau, hubungan dengan manusia sudah dijadikan hubungan "subyek - obyek" dan bukan lagi hubungan "subyek - subyek".
Hal itu sangat berbeda dengan dokter lulusan luar. Saya mempunyai pengalaman berhubungan dengan dokter anak yang S1 dan S2-nya lulusan Filipina. Beda sekali caranya. Dia menyapa kita secara manusiawi, dia sangat care mengenai keluhan, dia dengar dulu, kemudian mencoba memeriksan dengan sepenuh hati.
Tidak heran, kalau semua pasien yang ditanganinya cepat sembuh. Mereka merasa aman dan yakin dengan dokternya, bahwa benar-benar memahami penyakit mereka. Saya juga mempunyai pengalaman dengan dokter (tidak tahu lulusan dari mana, tapi pastilah dalam negeri) menampilkan sikap diam, selama pemeriksaan hanya satu kali saja saya mendengar dia bicara pada suster untuk minta disiapkan jarum suntik, selebihnya ada dalam keheningan yang mencekam.
Saya perhatikan, dia menulis resep tanpa bertanya satu katapun pada pasien. Soft skill (hubungan pribadi, kemampuan memperlakukan orang sebagai person) kelihatannya lemah sekali.
Mudah-mudahan ini bisa menjadi renungan kita bersama, mengenai cara-cara penyelenggaraan pendidikan di negara kita.
==================================
*Mendapatkan Surat Izin Praktik Dokter Dipersulit Birokrasi*
Mahasiswa kedokteran saat pendidikan telah menghabiskan uang dalam jumlah yang tidak sedikit, khususnya di universitas swasta. Contohnya untuk masuk kuliah di kedokteran umum, mahasiswa harus mengeluarkan biaya sumbangan Rp 70 juta lebih, ditambah Rp 5 juta lebih untuk satu semester. Belum untuk biaya buku dan lain-lain serta biaya saat pendidikan profesi di rumah sakit, juga berbagai biaya siluman.
Setiap hari mahasiswa kedokteran umum maupun peserta pendidikan dokter spesialis "diperas" oleh para suster dan senior di rumah sakit yang mengharuskan mereka membelikan makanan sesuai selera para suster dan senior, dan itu bukan untuk satu atau dua orang saja. Mereka juga dipaksa mengerjakan dan menerjemahkan tugas-tugas milik seniornya, sementara tugas mahasiswa sendiri juga menumpuk. Setelah lulus, pembuatan surat izin praktik berbelit-belit dan memakan waktu berbulan-bulan.
Jika tidak punya surat izin praktik, dokter akan dipidana kurungan dan ujung-ujungnya harus mengeluarkan sejumlah uang. Begitupun kewajiban pegawai tidak tetap (PTT) yang ditetapkan pemerintah. Namanya kewajiban, tetapi untuk urusan dokumen PTT harus mengeluarkan uang cukup besar dengan berbagai alasan. Di Cikarang, Bekasi, sebenarnya kewajiban membayar Rp 100.000, tetapi oknum di dinas kesehatan setempat meminta Rp 600.000.
Dengan berbagai birokrasi dan biaya yang dikeluarkan, dokter yang baru lulus segan mengikuti program PTT. Akibatnya, untuk pengurusan surat izin praktik dan melanjutkan sekolah juga akan dipersulit. Lagi-lagi ujung-ujungnya uang.
Biasanya dokter umum jaga 24 jam hanya dibayar Rp 100.000 dengan risiko tuntutan ratusan juta rupiah jika melakukan kesalahan dan bayaran itu tidak berbeda jauh dengan upah tukang bangunan di Jakarta), Rp 75.000- Rp 80.000per delapan jam kerja.
*Heri **Cikarang, Bekasi*
Birokrasi - mematikan keterampilan soft skill individu
Gue nggak tahu sekarang, tapi pas angkatan gue lulus, dokter2 muda yang mau punya ijin praktek itu WAJIB bakti sosial di daerah, enggak di kota. Nah, untuk bakti sosial ini mah ijin nya gampang banget, dan setelah jadi 'asisten' 3 taon langsung keluar ijin prkteknya. Biasanya ijin praktek plus penugasan di daerah bakti selama 2 taon.
Kata temen angkatan gue itu, biasanya dokter dokter muda yang baru lulus tuh ogah tuh ke daerah-daerah. Maunya dapet paktek di kota-kota aje, paling di pinggir-pinggiran kota
gitu. Nah, dokter dokter yang begini, biasanya jadi bulan bulanan senior seniornya, yang merasakan susahnya hidup di daerah sebelum dapet ijin praktek.
dianggep anak manja yang menyalahi sumpah kedokteran (sumpah melayani
masyarakat, terutama yang terpencil) dan jadi dokter lantaran komersil aja lah, maunya enak di kota doank, getoh. Alhasil, dipelonco habis lah selama dia jadi yunior.
Menurut gue, dokter2 itu mah cocok cocokan, ngga ada urusannya dengan lulusan luar atau lulusan dalem. Kalau kita ketemu dokter, kita langsung tahu mana yang punya 'semangat melayani' ; mana yang pinter tapi sombong setengah mati; mana yang tegas, mana yang terlalu soft sehingga pasien nya malah gak pede.