Bagaimana menjadi Konglomerat - Nofie Iman

By Nofie iman

Mungkin pertanyaan pertama yang muncul adalah bagaimana konglomerat bisa menghimpun dana sedemikian besarnya untuk membangun perusahaan. Padahal, sesungguhnya dana segitu gedenya bisa diperoleh dengan sangat mudahnya melalui dua jurus maut: modal dengkul dan mark-up.

Sebelum konglomerat mendirikan perusahaan, ia akan meminta profesional untuk menghitung secara detil investasi yang diperlukan, termasuk aset, kredit yang bisa diperoleh, modal sendiri yang mesti diperlukan, hingga working capital untuk membiayai operasional. Selain itu perlu ditentukan juga sarana fisik, bangunan dan peralatan, sampai karyawan yang diperlukan dengan berbagai kualifikasinya. Tentu saja semuanya harus disusun secara akurat.

Katakanlah begini, investasi ini seluruhnya memerlukan Rp 130 M. Modal tersebut meliputi modal kerja Rp 20 M; mesin dan perlengkapan anggap Rp 93 M; tanah, bangunan, dan aset tak bergerak Rp 10 M; dan sisanya, Rp 7 M untuk keperluan lain-lain.

Anggap semua proses perhitungan sudah selesai. Langkah selanjutnya adalah kontak supplier mesin di luar negeri dan minta price list untuk mesin-mesin yang kita perlukan. Umumnya, mereka menggunakan harga bruto, tingal bagaimana negosiasinya agar bisa mendapatkan korting yang lumayan. Tingkat korting ini bisa sampai 40% dari price list.

Selanjutnya, tanah dan bangunan pun harus kita cari harga pasti dan harga penawarannya. Termasuk barang-barang lain dan perlengkapan yang diperlukan. Semua dikumpulkan datanya terlebih dahulu, lalu dibuatlah proposal dengan harga baru. Mesin dinilai dengan harga bruto. Tanah dan bangunan pilih harga penawaran yang tertingi, kalau perlu tambah mark-up juga tak masalah selama masih wajar. Nantinya, proposal akan muncul dalam dua versi. Versi pertama adalah proposal asli dengan estimasi Rp 130 M. Proposal versi kedua adalah proposal hasil mark-up dengan estimasi sekitar Rp 175 M.

Kemudian, proposal kedua hasil mark-up diajukan ke bank untuk meminta kredit. Sebelumnya, jelas harus ada pendekatan terlebih dahulu (kecuali si konglomerat tersebut punya bank sendiri).
Dari rencana investasi sebesar Rp 175 M tadi, si konglomerat cuma minta Rp 135 M saja. Tentunya, ada uang jasa untuk kredit yang nilainya cukup besar ini. Besarnya sekitar 1%. Selain itu, direksi bank (apalagi BUMN) sering minta tolong dicarikan kos-kosan buat anaknya yang sekolah di luar kota (dan di luar negeri juga). Ada juga yang nggak mau repot nyari, alias mending beli aja.

Oke. Kita anggap sudah ada deal dengan bank. Sekarang tinggal bagaimana pembangunan proyeknya. Tanah dan bangunan mesti dibikin terlebih dahulu supaya ada bukti bahwa proyek ini bukan proyek bohong. Di pembukuan, harga tanah bisa dinaikkan sampai sekitar Rp 15 M. Tapi bisa juga tanah ngutang terlebih dahulu dengan alasan sertifikat yang belum beres.

Lalu bagaimana urusan dengan supplier mesin di luar negeri? Misalkan harga mesin US$ 10 juta net, mereka minta down payment 10%. Sisanya, dibayar pakai L/C yang harus diselesaikan setelah mesin naik ke kapal (FOB).
Tapi pencatatan dalam sales contract, harga menggunakan tarif bruto 40% (US$ 14 juta) dan down payment US$ 5 juta. Jadi, L/C yang harus ditanggung tetap US$ 9 juta.

Dana sebesar US$ 5 juta nantinya benar-benar dikirim via draft ke supplier mesin yang bersangkutan. Tapi, US$ 4 juta sisanya, dikembalikan lagi ke rekening pribadi si konglomerat. Bisa juga US$ 5 juta tadi dikirim lima kali masing-masing US$ 1 juta, dimana pengiriman pertama sampai keempat dimasukkan ke rekening pribadi dan pengiriman terakhir dikirim untuk down payment sebenarnya. Jadi, bukti draft tetap nampak US$ 5 juta.

Pada dasarnya, bank bersedia mencairkan kredit setelah bangunan sudah nampak dan mesin sudah dibayar.
Bank juga tidak bisa sekenanya mencairkan kredit karena perlu diaudit oleh akuntan publik. Akuntan pun akan memeriksa berdasar bukti yang ada dan melakukan konfirmasi kepada pihak-pihak terkait seperti supplier mesin. Mereka umumnya tahu sama tahu ketika berhadapan dengan konglomerat Indonesia. Lagipula, mesin-mesin tersebut harga resminya memang bruto. Tidak ada patokan baku untuk discount yang diberikan.

Setelah kredit cair, duit sendiri yang semula dipakai untuk tanah, bangunan, dan uang muka untuk mesin diambil kembali. Tentu dengan untung sebesar Rp 5 M. Biasanya, anak-anak Soeharto bisa mengambil sampai separonya. Tentunya proses pengambilan ini tidak secara cash sekaligus karena sangat mencolok ketika diaudit. Cara yang cukup expert adalah dengan kredit overdraft account dengan jaminan deposito pribadi yang dipergunakan untuk setor modal. Tentunya ditutupi alasan bahwa untuk membiayai investasi tidak bisa secara sekaligus. Jadi, idle money yang ada supaya bisa dimanfaatkan terlebih dahulu.

Pada prakteknya, deposito pribadi ini tidak tersentuh. Dana yang diambil dari overdraft account jumlahnya lebih besar daripada jumlah yang harus dibayarkan. Selebihnya, bisa dimasukkan lagi ke bank dengan menggunakan account baru. Setelah agak banyak, setorkan kembali ke overdraft account dengan dicatat sebagai setoran modal. Nah, dari mark-up ini diperoleh Rp 5 M dari bangunan dan Rp 37 M dari down payment untuk mesin. Jumlah ini melebihi modal sendiri yang mesti disetor sebesar Rp 40 M. Benar-benar modal dengkul.

Urusan teknis dan manajemen biasanya diserahkan begitu saja kepada profesional dan staf-stafnya. Mereka didorong untuk kerja keras dengan iming-iming bonus yang besar. Mereka membuat sistem yang baik, manajemen yang bagus, dan disiplin yang ketat. Kalau ada professional yang bandel, tinggal pecat dengan alasan yang gampang dibuat.

Hanya saja, para konglomerat ini pernah kejeblos semasa krismon. Bunga bank yang semula 17%-20% per tahun meningkat hingga di atas 40%. Belum lagi kurs dolar yang meningkat secara berlebihan ditambah daya beli masyarakat yang drop. Akibatnya, pasar yang semula normal menjadi timpang. Kecuali perusahaan tadi berorientasi ekspor. Tentu saja dengan modal dengkul seperti ini tidak ada perusahaan yang bertahan. Selain itu, nasabah mengambil simpanan di bank. BI mengucurkan bantuan tetapi sekedar untuk mengembalikan tabungan nasabah, bukan untuk menutup utang. Bagi bankir nakal, tentu saja ini adalah kesempatan untuk sekalian menghabisi bank tersebut. Apalagi bank yang dananya digunakan untuk membiayai proyek sendiri yang dimark-up.

Bagaimana dengan bosnya? Tak masalah. Si bos tetap aman karena perusahaan tadi hanya berbekal modal dengkul, bukan berasal dari kantong pribadi si bos.

Tertarik? Mungkin kita lanjutkan di artikel selanjutnya. Hehehe.

Bagaimana menjadi Konglomerat (2) - Nofie Iman

Kali ini saya akan mengulas tentang struktur organisasi yang rumit. Konglomerat umumnya punya banyak perusahaan. Saking banyaknya bos kadang tak bisa mengingat satu per satu usahanya sendiri. Saking rumitnya, orang dalam pun terkadang sulit memahami struktur organisasinya. Apalagi bidang industrinya pun beragam. Dari hulu sampai hilir ada semua. Seluruh bahan tidak ada yang beli dari pihak luar. Semuanya, kalau bisa, dibuat sendiri. Alasannya? Agar pasokan selalu terjamin. Yang buntutnya kalau perlu dana, sewaktu-waktu bisa diambil. Maka dari itu, umumnya semua konglomerat mempunyai bank sendiri. Grup Lippo, Salim, Djarum, dan konglomerasi lainnya punya bank sendiri. Bahkan bisa lebih dari satu.

Di dalam satu perusahaan sendiri, biasanya ada sekitar 10-15 tingkat jabatan. Tingkat teratas adalah CEO, disusul kemudian direktur utama, direktur, general manager, dan manager. Di bawah manager, biasanya juga masih terdapat setidaknya 5 tingkat lagi sampai ke lapis terbawah.
Yang memusingkan, CEO di A bisa jadi dirut di B atau direktur di C. Begitu pula sebaliknya. CEO di B merangkap jadi dirut di A atau direktur di D dan E. Begitu seterusnya. Dan untuk mengelola seluruh perusahaan, bos biasanya membuat satu perusahaan lagi yang menjadi holding. Di banyak kasus, nama perusahaan induk ini biasanya diberi tambahan international. Di perusahaan inilah seluruh CEO di anak perusahaan duduk bersama dengan dikepalai bos langsung.

Struktur permodalan usaha ini pun juga tak kalah rumitnya. Perusahaan A misalnya, sebagian sahamnya dimiliki B, C, dan D. Begitu pula saham perusahaan B, C, D, dan seterusnya. Saham bos di dalamnya (sengaja dibuat) cuma sedikit. Jadi kepemilikan saham ini senantiasa berputar. Orang dalam terkadang sulit mengetahui kepemilikan perusahaan itu. Apalagi orang luar. Yang mereka ketahui paling sebatas grup X atau grup Y saja. Tak lebih.

Seperti ditulis sebelumnya, saham bos di perusahaan-perusahaan tersebut memang sedikit. Penyertaan saham terbesarnya hanya di beberapa perusahaan utama saja. Tapi tentu saja sahamnya akan selalu berputar antar perusahaan. Lalu, bagaimana kalau perusahaannya nggak punya duit? Biasanya si bos dengan mudah ngutang ke bank-bank BUMN yang sudah tahu-sama-tahu dengan si bos. Kalau nggak, ngutang saja ke bank milik sendiri. Buntutnya, duit yang ada, akan selalu berputar-putar di situ-situ aja.

Oh iya, di dalam perusahaan itu ada sebagian kecil saham hopeng-hopengnya boss. Inipun asalnya dari modal dengkul juga. Saham ini bukan karena bos kekurangan duit, tapi saham ini diperlukan untuk membangun oligopoli, yaitu semacam monopoli terselubung yang dibentuk oleh beberapa perusahaan yang menguasai pasar. Dan sudah menjadi rahasia umum bahwa hopeng-hopeng ini biasanya anak Jendral K, Menteri L, Deputi M, atau adiknya Gubernur N. Tentu saja mereka-mereka yang nggak faham urusan konglomerat nggak akan mengerti soal ini. Apalagi pejabat-pejabat atau petugas pajak yang masih gampang dikibulin.

Lalu, apa keuntungan dari struktur yang rumit ini? Keuntungan pertama adalah menghindari pajak ganda. Jadi begini, kalau saham di tiap perusahaan milik pribadi, keuntungan yang diperoleh akan kena pajak dua kali. Ia akan terkena PPh badan pasal 25 dan PPh pasal 23 kalau perusahaan itu membagi dividen. Beda kalau perusahaan itu sahamnya dimiliki perusahaan lain. Pajak yang dikenakan cuma PPh badan pasal 25, sebab dividen yang diterima perusahaan tidak terkena PPh pasal 23 lagi.

Keuntungan kedua adalah untuk mengurangi pajak. Dengan perusahaan yang sebegitu banyaknya, laba perusahaan satu bisa dilempar ke perusahaan lain yang (dibuat) rugi, sehingga pajak yang dikenakan menjadi jauh lebih kecil. Misalkan seseorang punya dua perusahaan, dimana satu rugi Rp 10 M dan lainnya untung Rp 10 M, maka dia perlu bayar pajak dari perusahaan yang untung. Walaupun kalau digabung, sebenarnya ia tidak untung sepeser pun.

Dan, keuntungan ketiga adalah untuk memeras duit. Di Bagaimana Menjadi Konglomerat 1 telah diulas bahwa perusahaan semacam ini pada dasarnya adalah modal dengkul. Kalau bos punya 50 perusahaan, ia bisa mengambil setidaknya Rp 100 juta per bulan dari masing-masing perusahaan. Belum lagi jabatannya sebagai komisaris, CEO, dirut, direktur, atau manajer dari perusahaan lain. Wajar kan kalau dapat gaji? Nah, andaikata gaji tersebut dimark-up, lalu seluruh sanak keluarganya dimasukkan ke dalam susunan manajemen, coba bayangkan berapa yang bisa diperas dari seluruh perusahaan? Belum lagi kalau dibuat karyawan boneka yang secara akuntansi digaji Rp 20 juta tetapi prakteknya dikasih Rp 3 juta aja senengnya minta ampun. Sisanya? Jelas masuk ke kantong si bos lagi. Maka, bisa dibayangkan berapa milyar (atau trilyun) yang bisa diambil dari seluruh perusahaan tadi?

Menarik bukan? Tapi masih ada sedikit trik yang jauh lebih canggih dan kurang beresiko.
Trik tersebut adalah transfer pricing dan back-to-back loan. Bagaimana trik itu bekerja? Kita simpan saja di artikel selanjutnya. Oke?

Bagaimana menjadi Konglomerat (3) - Nofie Iman

Sekarang membahas soal transfer pricing. Yang namanya transfer pricing, bukan berarti mengirim harga tetapi mengirim laba. Laba dari perusahaan yang satu dikirim ke perusahaan lain, supaya laba ini gak kena pajak. Transfer pricing ini bisa terjadi di dalem negeri, bisa juga dengan perusahaan di luar negeri, tergantung kebutuhan. Tujuan sebenarnya ngambil duit dari perusahaan sendiri, sama ngapusin pajaknya.

Kalu orang cuman punya 1 perusahaan, ya susah, paling dikit musti punya 2 perusahaan. Kalu ada 100 lebih gampang lagi. Supaya gampang, kita ambil aja 2 perusahaan dulu, misal PT.A sama PT.B, dua2nya di Indoneisa. Hasil produksi PT.A dijual ke PT.B buat diproses lagi. Anggep aja PT.A ini sebenernya untungnya cuman Rp.1 m setahun, tapi PT.B untungnya gede bisa Rp.10 m setahun. Kalu ngikutin aturan, PT.A sama PT.B masing-masing musti bayar pajak 30%, jadi kira2 Rp.3,3 m setaon. Bayar pajak segede gini rasanya gak rela, kalu bisa Rp.300 jt aja dah, tapi gimana caranya? Gampang.

Misalnya PT.A, buat produksi musti beli bahan Rp.50 m setaon. Waktu beli bahan, atur sama yang jual supaya harganya dinaekin 20 %.
Selisihnya yang Rp.10 m bisa masuk kantong boss nya sendiri. Bisa juga cara laen, bahan yang dibeli kwantitinya ditambah 20%. Semua bon atas nama PT.A, tapi yang 20% barangnya dijual lagi ke orang laen dan duitnya masuk kantong. Dibuku, barang yang dijual lagi ini dianggep waste atawa afval atawa susut. Kombinasi keduanya juga boleh. Jadi PT.A yang mustinya laba Rp.1 m, karena dicatut Rp.10 m jadi rugi Rp.9 m.

Produk PT.A yang dijual ke PT.B misal harga wajarnya Rp.60 m. Naekin aja harganya 16%, jadi Rp.69,6 m, berarti PT.A dapet untung tambahan Rp.9,6 m. Jadi sesudah kenaekan harga ini PT.A yang tadinya rugi Rp.9 m jadi untung Rp.0,6 m. PT.B yang mustinya untung Rp.10 m kalu beli barang dari PT.A seharga Rp.60 m, karena harganya dinaekin Rp.9,6 m sekarang untungnya tinggal Rp.0,4 m. Kalu dijumlah untung PT.A + PT.B tinggal Rp.1 m, kalu kena pajak 30% cuman Rp.300 jt.

Kalu PT.A dan PT.B untungnya gede, cara ini kurang praktis. Kalu dari PT.A diambil duit yang gede, likuiditasnya bakalan ambruk. Kalu cuman diambil sedikit musti bayar pajaknya gede, lagi juga percuma kalu cuman ngambil duit receh. Ada cara yang lebih canggih lagi. Pertama-tama bikin perusahaan export import di Hongkong. Buat apa?

Buanyaaak gunanya.

Hongkong ini pusat perdagangan, mau import barang apa aja ada.
Mau ekspor barang, disana juga banyak pembelinya.
Negaranya cukup aman, aturannya beres, uangnya juga stabil.
Pajak di Hongkong 15%, Caymand Island 0%, sedeng di Indonesia 30%.
Semua konglomerat Indonesia pasti ekspor/impor ke Hongkong.
Sekarang ceritanya PT.A sama PT.B untungnya masing2 Rp.10 m. PT.A bahan bakunya musti import, dan PT.B hasil produksinya diexport. Import sama export ini gak musti ke Hongkong, ke negara mana aja juga boleh. Di Hongkong kita bikin PT.C yang usahanya export / import, yang resminya gak ada hubungan sama PT.A atawa PT.B. Kalu dulu PT.A import bahan baku langsung dari negara X, sekarang importnya via agennya di Hongkong yaitu PT.C. Gitu juga PT.B kalu mau export barang kenegara Y, jangan langsung tapi musti via PT.C di Hongkong juga.

Buat urusan export import, beli / jual barang cara gini udah biasa. Barangnya sih sebenernya dari negara X gak perlu dikirim dulu ke Hongkong, langsung aja kirim ke Indonesia, dokumen importnya aja dari PT.C di Hongkong. Gitu juga kalu mau export via Hongkong kenegara Y, barangnya dari Indonesia gak perlu dikirim dulu ke Hongkong, dokumen exportnya aja atas nama PT.C di Hongkong.

PT.A, yang dulunya import bahan baku langsung dari negara X misalnya seharga US$ 10 jt, sekarang via Hongkong harganya naik jadi US$ 11 jt. Anggep aja ongkos produksi laennya tetap, tapi bahan baku PT.A jadi naek US$ 1jt = Rp.9,5 m. Karena kenaekan harga ini, untung PT.A yang tadinya Rp.10 m tinggal Rp.0,5 m. Yang US$ 1 jt = Rp.9,5 m jadi keuntungan PT.C.

PT.B, dulunya export kenegara Y seharga US$ 15 jt, sekarang via PT.C di Hongkong harganya turun jadi US$ 14 jt. Jadi revenue PT.B turun US$ 1 jt = Rp.9,5 m. Jadi PT.B yang tadinya untung Rp.10 m sekarang untungnya tinggal Rp.0.5 m, yang Rp.9,5 m = US$ 1 jt jadi keuntungan PT.C.

Sekarang kita itung, berapa pajak yang musti dibayar boss kita.
PT.A (Ina) = Rp.0,5 m X 30% = Rp.150 jt.
PT.B (Ina) = Rp.0,5 m X 30% = Rp.150 jt.
PT.C (HK) = Rp.19 m X 15% = Rp.2,85 m.
Total pajak yang dibayar = Rp. 3,15 m.

Kalu gak pake cara ini, pajak yang musti dibayar PT.A dan PT.B masing2 = Rp.10 m X 30% = Rp.3 m, total Rp.6 m. Jadi dari total Rp.6 m, berarti hemat Rp.2,85 m. Tapi untungnya bukan cuman itu doang, yang paling penting udah bisa ngamanken duit yang US$ 2jt (dipotong pajak 15%) di Hongkong. Buat ngeluarin duit segede gini gak gampang.

Nah itu baru contoh 2 perusahaan, gimana kalu prusahaannya sampe 100, berapa gede duit yang moncor ke Hongkong. Makanya gak aneh kalu duit ex BLBI bisa amblas gak karuan. Perusahaan asing yang pada buka cabang di Indonesia juga pada jago soal ginian.

Sekarang dongeng soal back to back loan. Duit hasil nyatut yang Rp.10 m atawa yang US$ 1,7 jt, didepositokan di Bank, kalu bisa di banknya sendiri. Terus PT.A atawa PT.B disuruh pinjam kredit dari Bank yang sama pake jaminan deposito tersebut. Resminya PT.A atawa PT.B ngasi jaminan aset seperti biasa. Ini yang disebut back to back loan. Yang namanya bank, di Ina atawa di Hongkong / Singapore udah pada ngerti soal back to back loan kaya gini, mereka cuman minta keuntungan = -1% setaon.

Bank juga bisa diajak kongkow, supaya bunga deposito / bunga kreditnya dinaekin 1-2%, toh banknya sih tetep aja dapet untung bersih = - 1 % setaon. Dengen back to back loan ini, boss kita bisa dapet bunga deposito yang lebih gede 1-2%. Apalagi kalu depositonya diluar negeri, beda bunga 1-2 % ini gede artinya, soalnya bunga disana kecil.

Waktu jaman Orba, back to back loan ini banyak peminatnya, soalnya enak tiap bulan bisa ngantongin duit terus. Tapi sesudah krismon, yang back to back loan di luar negri banyak yang kecele. Soalnya perusahaanya di Ina pada gak bisa bayar utang jadi depositonya yang dijadiin jaminan banyak yang diblokir sama bank disana.

Terdengar akrab di telinga anda? Ya, itulah yang dilakukan Maxgain. Sebagai contoh sepupu bapak kontrakannya Kang Kombor diminta untuk membayar Rp 200 juta untuk bisa bekerja di Maxgain. Uang ini nantinya akan digunakan ‘pegawai'’ untuk melakukan jual beli forex. Tapi jika menuruti kemauan Maxgain, maka hampir pasti yang bersangkutan suatu saat akan kehilangan semua uangnya.

Praktik semacam itu mungkin sudah akan ditertibkan jika terjadi pada negara-negara yang lebih berpengalaman. Oleh karena itu bisa jadi oknum-oknum tersebut mencari lahan di negara-negara yang aturan mainnya masih belum ketat seperti di Indonesia.

Mengapa ini bisa terjadi?

Jual beli forex adalah sebuah zero-sum game. Secara sederhana, para pelaku jual beli forex secara keseluruhan tidak rugi dan tidak untung. Untuk melakukan perdagangan forex, seorang pemain menyetorkan modalnya. Dengan modal ini pemain tersebut mengincar setoran modal dari pemain lainnya untuk memperoleh keuntungan. Dan sebaliknya, seluruh pemain lain juga akan mengincar modal yang kita gunakan. Dengan kata lain, sesama pemain forex adalah lawan. Keuntungan satu pemain murni adalah kerugian pemain lainnya, dan sebaliknya.

Masalah lebih besar timbul karena sebagian besar pemain forex bertransaksi melalui perantara (broker). Perantara ini mendapatkan keuntungan dari perbedaan kurs jual dan beli. Selain itu bisa saja ‘perantara’ bukanlah perantara, melainkan sesama penjual dan pembeli forex! Dengan demikian, pemain yang bertransaksi melalui perantara tanpa disadari berkompetisi dengan perantara itu sendiri. Selain itu, modal yang disetor ke perantara sering tidak akan pernah meninggalkan perantara dan hanya akan berputar-putar di sistem milik perantara dan pemain-pemain lain yang terhubung dengannya.

Selain itu, perantara juga adalah pihak menentukan harga. Harga dasar dari kurs jual atau beli bisa jadi sesuai dengan kurs antar bank. Tetapi bisa saja perbedaan kurs jual beli lebih besar daripada kurs antar bank, ini dilakukan untuk mendapatkan keuntungan terutama bagi perantara-perantara yang tidak mengenakan biaya komisi. Atau, perantara bisa saja dengan sengaja mengenakan kurs jual beli yang menguntungkan mereka, terutama jika mereka sebenarnya termasuk pihak yang bermain! Ini sangat berbahaya terutama bagi pemain yang hanya mengandalkan hubungan dengan satu dua perantara saja.

Pemain yang hanya mengandalkan satu perantara saja tidaklah bermain di ‘pasar’ forex, karena yang namanya pasar harus ada beberapa penjual dan pembeli. Pemain akan membeli komoditas dengan harga semurah mungkin dan menjualnya semahal mungkin. Jika pemain hanya berhubungan dengan satu pedagang saja, maka dia terikat dengan harga yang ditawarkan pedagang tersebut. Pilihannya hanya dua: bertransaksi atau tidak. Dia tidak dapat pindah ke pedagang lain yang menawarkan harga lebih baik.

Tidak seperti pasar saham, pasar forex tidaklah terpusat. Harga ditentukan dari transaksi langsung antara penjual dan pembeli terutama dari pasar antar bank. Dengan demikian, wajar jika harga jual beli sebuah mata uang asing sedikit berbeda pada tempat yang berbeda. Sebagai contoh, Kompas memuat kurs tengah uang kertas asing BI dan kurs tengah Bloomberg. Tentunya perbedaan sesedikit apapun sudah pasti akan dengan cepat dimanfaatkan oleh para pelaku pasar. Ini menyebabkan perbedaan harga tidak akan terpaut terlalu jauh.

Fakta ini bisa saja dimanfaatkan oleh perantara yang merangkap sebagai pemain untuk meraih keuntungan sebesar-besarnya. Perantara yang tidak jujur bisa saja memodifikasi nilai kurs untuk mendapatkan keuntungan dari kerugian para pemain. Dan para pemain terutama yang tidak berpengalaman tidak akan menyadari bahwa ada yang salah, karena kenyataannya memang wajar jika ada sedikit perbedaan harga pada tempat yang berbeda.

Ini tak jauh berbeda dengan penjudi yang berjudi pada sebuah kasino, yang bermain blackjack melawan seorang bandar. Bedanya, bandar dapat selalu melihat kartu penjudi tersebut dan mampu menentukan apa kartu yang muncul berikutnya. Jadi, masalah Maxgain ini bisa saja sebenarnya jauh lebih besar daripada semata-mata sebuah kasus penipuan lowongan pekerjaan.

Saya pribadi tidak anti perdagangan forex, karena hanya perdagangan forex yang membuat harga jual beli mata uang asing menjadi efisien. Tetapi ternyata pasar forex ternyata juga dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang tidak jelas moralnya™.

Referensi:

Bagikan Info ini

Bookmark and Share
Sponsor Web Penghasil Uang

Artikel Terkait

Toko Buku Kedokteran Online

 

Lihat semua daftar posting »»Gajiku di Bisnis Internet is proudly powered by Blogger | Minima Template edited by Bowo