Karena itu dalam buku Fukuyama 'Memperkuat Negara' ahli ilmu sosial ini, menasihatkan SBY (Indonesia), supaya mempersempit cakupan (scooping) peran negara (pemerintahan) agar menjadi kuat dan efisien (small but strength). Sebenarnya dengan lahirnya Undang-Undang Otonomi Daerah dan perangkat peraturannya lainnya, dari segi 'cakupan tugas' negara itu, Indonesia sudah 'on the right track' (pada koridor yang benar). Sementara kepada Bush (Amerika Serikat dan sekutunya) Fukuyama menasihatkan agar mereka secara tulus membantu untuk memperkuat negera-negara berkembang seperti Indonesia, agar negara itu menjadi kuat dan sefisien. Dengan demikian mereka akan mampu menegakan hukum, tanpa harus menebarkan ancaman, paksaan dan kecemasan yang berlebihan, termasuk dalam memerangi terorisme.
WASPADA Online.
Tidak pelak lagi, nama Francis Fukuyama, telah terukir sebagai seorang pemikir ilmu sosial yang sangat berpengaruh di penghujung abad ke-21 ini. Salah satu bukunya yang mengagumkan ialah ''Memperkuat Negara''. Buku ini dikagumi banyak orang, bukan karena memuat sebuah grand theory baru, atau halamannya yang tebal, tetapi kerena buku itu telah 'mencuri' perhatian kaum intelektual dan praktisi politik setelah peristiwa 11 September 2001 (penabrakan menara kembar WTC), yang sempat mengagetkan dunia.
Mungkin di tengah kebingungan peristiwa yang tidak terduga dalam sejarah kemanusiaan itu, Fukuyama bertanya pada dirinya sendiri 'apa yang salah pada negara adidaya Amerika Serikat ini?' Mengapa dia sampai kecolongan dan memperlihatkan tindakan-tindakan yang sangat kontroversial, seperti melakukan invansi untuk menduduki Irak atas nama kemanusiaan dan demokrasi? Pada saat masyarakat Barat kebingungan itu, Fukuyama menerbitkan buku ''Memperkuat Negara''. Dengan terbitnya buku ini, di samping dia dikagumi, tetapi juga sekaligus dituduh telah melupakan wacana pro dan kontra terhadap leberalisme dan statisme (1980). Karena, Fukuyama sendiri seorang warga negara Amerika Serikat keturunan Jepang adalah pendukung kuat kelompok proleberalisme (pro pasar bebas) yang berarti cenderung untuk mengurangi kekuasaan negara.
Dengan meluncurkan buku 'Memperkuat Negara' itu, dapat diartikan seakan Fukuyama berbalik mendukung gerakan statisme (Malarangeng 2005). Akan tetapi buku ini, adalah jawaban spontan dari pertanyaan dan kegalauan pemikiran orang Barat di atas. Pemikiran untuk memperkuat negara, seakan dilontarkannya tidak hanya kepada Amerika Serikat, tetapi kepada semua negara bangsa di dunia ini. Tidak terkecuali apakah negara-negara yang sudah mapan atau yang sedang berkembang, termasukIndonesia, China, atau negara-negara Timur Tengah dan Amerika Latin. Sebenarnya, Amerika dan sekutunya, telah merasa arrived, setelah memenangkan perang dingin dan memporak porandakan kekaisaran Uni Soviet Rusia. Sejak itu, Amerika Serikat dan sekutunya telah menjadi 'polisi dunia' tanpa tandingan (a single international police).
Sekarang, menurut Fukuyama Amerika ingin membangun 'Kekaisaran Baru,' dengan membersihkan terorisme yang merupakan ancaman utama kekaisaran itu. Tetapi teroris ini sebahagian besar muncul dari negara-negara yang lemah, seperti negara-negara di Timur Tengah, Afrika dan Asia (Indonesia dan Filipina). Fukuyama secara brillian mengemukakan bahwa problem dunia yang sangat sentral ialah, bagaimana mendorong Amerika Serikat dan para sejawat polisi dunia itu untuk memperkuat negara-negara bangsa yang lemah sedemikian rupa, agar mampu memerangi sendiri para teroris di dalam negeri mereka masing-masing. Fukuyama beranggapan, Amerika Serikat dan sejawatnya tidak perlu melakukan invansi. Pertama, kerana akan melanggar kedaulatan negara bangsa lain, apalagi secara unilateral (tanpa persetujuan PBB). Kedua, akan mengundang pertanyaan dunia: 'siapa yang memutuskan, kedaulatan negara mana yang akan dilanggar dan atas dasar apa?'
Fukuyama dan Huntington
Berbeda dengan Fukuyama, Huntington ahli ilmu politik kenamaan, dalam menanggapi peristiwa kelabu 11 September itu, menunjukkan secara gamblang kepada dunia siapa sebenarnya musuh Amerika yang harus dijadikan 'sasaran tembak.' Walaupun Huntington menyatakan bahwa sasaran tembak itu bukan lagi komunisme, tetapi sesuatu yang baru, sesuatu yang dibungkusnya dalam istilah akademik yang kabur 'the other civilization.' Namun, orang tidak sukar untuk menebaknya, bahwa 'the other civilization' itu adalah: negara-negara Islam dan Cina. Dalam bukunya yang menghebohkan The Clash of Civilization itu, Huntington secara gamblang mengungkapkan, bahwa setelah perang dingin berakhir, akan terjadi 'clash' atau pertarungan antara peradaban Barat dengan China dan Islam. Mungkin karena masih dalam keadaan bingung dan frustrasi, hipotesis Huntington ini (seperti diyakini banyak orang), telah menjadi pegangan banyak politisi dan akdemisi Amerika Serikat.
Orang mengaitkannya dengan serangan AS terhadap Afghanistan, Irak dan tekanan-tekanan politik yang gencar terhadap beberapa negara Islam lainnya yang dianggap militan, atau karena lemahnya tidak dapat bertindak tegas terhadap teroris. Sementara itu, tantangan dan sanggahan bertubi-tubi pula datang kepada buku Huntington itu, terutama dari kaum intelektual Barat sendiri. Memang 'civilization' sebagai sebuah konsep atau paradigma dari segi akademik bukanlah merupakan suatu perpegangan kategori yang solid dan homogen, untuk dipertarungkan satu sama lain. Secara konseptual batang tubuh 'civilization' sebagai bahagian dari budaya manusia, penuh dengan kontradiktif dan kelenturan, sehingga satu 'civilization' dengan yang lainnya tidak mungkin dibenturkan. Apabila dua peradaban bertemu, mereka akan saling 'menyapa' dan berakulturasi. Lalu apa yang dapat diperpegangi dalam memerangi teroris?
Buku Fukuyama 'Memperkuat Negara,' muncul tidak hanya sebagai anti tesis dari buku Huntington yang terlalu extrovert (melihat keluar), tetapi sebagai alternatif baru yang lebih introvert, rasional dan humanist. Buku ini mendorong dan menganjurkan agar Amerika Serikat lebih banyak untuk melakukan introspeksi ke dalam. Bagi Fukuyama aksi terorisme, perang sipil, kemiskinan bukanlah masalah yang berdiri sendiri. Bencana kemanusiaan ini menurutnya adalah karena 'pemerintah telah gagal menjalankan peranan negara sebagai institusi terpenting dalam masyarakatnya.' Sinyalemen ini sangat relevan dengan masalah bangsa Indonesia yang dikategorikan dunia sebagai negara lemah. Sejarah telah membuktikan bahwa pembangunan di Indonesia dari Orde Lama ke Orde Baru (hampir setengah abad) hanya menuai kegagalan demi kegagalan, bahkan sampai sekarang orang masih meragukan apakah Indonesia telah bejalan pada koridor yang benar (on the right track).
Indonesia negera lemah
Menurut Fukuyama peran negara dapat dibedakan dari segi: (1) cakupan (scope), dan (2) kekuatan/kapasitas (strength). Banyak negara yang mencoba untuk mengatur terlalu banyak aspek kehidupan rakyatnya, seperti Indonesia di zaman Orde Lama dan Orde Baru. Tetapi, kemampuan negara terlalu lemah, baik dari administratif maupun dari segi sumber daya manusia (SDM), sehingga pembangunan banyak menimbulkan berbagai ragam tindak korupsi, salah urus, tidak mampu menegakkan hukum. Semua itu telah melahirkan kesenjangan sosial, pengangguran, konflik sosial dan kemelaratan rakyat. Hal ini terkait dengan kapasitas atau kekuatan (strength) negara bangsa itu sendiri untuk mewujudkan kesejahteraan dan keadilan ekonomi. Fukuyama menyimpulkan bahwa cakupan tugas negara (pemerintah) itu lebih baik sempit tetapi kuat (small but strength).
Pada masa kolonial, pemerintah Belanda lebih banyak menekankan sistem pemerintahan tidak langsung (indirect rule). Strategi ini dilakukan pemerintah kolonial Belanda untuk menghindari cakupan (scope) peran pemerintah colonial yang terlalu luas. Raja atau para Sultan diberi kebebasan untuk melaksanakan pemerintahan feodalnya, mengatur rakyat mereka masing-masing di berbagai bidang kehidupan, terutama di bidang agama, budaya, pendidikan, pertanian dan ekonomi lokal. Pemerintah kolonial menetapkan pajak, pedoman politik pemerintahan lokal seperti suksesi dan struktur hubungan para sultan dan raja dengan pemerintah pusat, kedudukan hukum rakyat warga negara asing, hubungan luar negeri dan pertahanan. Akan tetapi, pengawasan (control) pemerintah kolonial cukup kuat. Apabila diperlukan pemerintah kolonial tidak segan melakukan intervensi yang cepat dan tegas.
Setelah penyerahan kedaulatan, pemerintah Indonesia teryata terlalu ambisius, cakupan (scope) peran negara (pemerintah pusat) hampir meliputi seluruh aspek kehidupan rakyatnya. Lihatlah umpamanya di bidang ekonomi, BUMN hampir ada di seluruh aspek kehidupan manusia, sehingga berjumlah ratusan. Padahal kemampuan, baik dari segi administrasi dan SDM sangat lemah, sehingga tentara dan polisi pada masa Orde Baru banyak yang direkrut menjadi aparat BUMN dan birokrasi sipil. Pemerintah pusat (sampai sekarang) terkesan sangat sentralistik dan represif. Dengan dalih negara kesatuan, pemerintah Orde Baru telah melakukan penyeragaman (uniformity) hampir dalam semua aspek kehidupan, dengan tujuan agar mudah menguasainya.
Tidak hanya dalam kehidupan politik, pemerintahan daerah, hukum, ekonomi, pendidikan dan agama, malah sampai kepada hal-hal yang teknis dan elementer. Seperti di bidang pendidikan umpamanya, penyeragaman tidak hanya sampai kepada kurikulum atau buku teks, tetapi sampai kepada (keinginan) penyeragaman sepatu guru dan murid, dengan menetapkan distributor tunggal dari Jakarta. Interpretasi falsafah negara Pancasila harus diseragamkan, walaupun Pancasila itu dinyatakan sebagai ideologi yang terbuka. Struktur pemerintahan desa diseragamkan dengan pola struktur desa Jawa, padahal struktur dan falsafah desa di luar Jawa sangat berbeda. Peran pemerintah terhadap kehidupan rakyat di pedesaan yang begitu luas menyebabkan terjadi proses 'depowering' (melucuti kekuatan) desa, akibatnya kekuatan dan kemandirian desa hilang. Desa kemudian menjadi ajang mobilisasi kepentingan politik penguasa, terjadi berbagai pembusukan, konflik antar etnis dan agama, yang meledak ketika pengusaha itu terguling.
Tidak mengherankan apabila Fukuyama menyatakan bahwa negara-negara lemah seperti Indonesia ini akan menjadi sumber konflik, pelanggaran hak asasi manusia, dan tempat berbagai jenis terorisme berkembang. Oleh karena itu menurutnya, negara-negara besar seperti Amerika Serikat, sangat berkepentingan untuk campur tangan dalam memperkuat negara tersebut, karena dianggap merupakan ancaman keamanan internasional.
Nasihat Fukuyama kepada SBY dan Bush
Setelah tumbangnya pemerintahan Orde Baru dan munculnya era reformasi, pemerintah pusat mulai membatasi skoping atau luas cakupan perannya dengan memberlakukan UU Otonomi Daerah, sambil berusaha memperkuat birokrasi pemerintahan pusat. Tetapi apakah semudah itu memperbaiki hubungan pusat dan daerah, meningkatkan efisiensi birokrasi dan menumbuhkan demokrasi di tingkat 'grassroot' (akar rumput). Atau, mengembangkan kembali rasa percaya (trust) masyarakat kepada negara, yang telah terlanjur rusak, kerena ambisi pemerintah pusat untuk mempertahankan kekuasaan.
Memang tidak mudah bagi pemerintah untuk berubah, kendatipun telah ditopang oleh Undang-Undang atau peraturan yang seyogianya telah diberlakukan. Bukan karena pemerintah Indonesia kuat, tetapi sebaliknya. Karena itu dalam buku Fukuyama 'Memperkuat Negara' ahli ilmu sosial ini, menasihatkan SBY (Indonesia), supaya mempersempit cakupan (scooping) peran negara (pemerintahan) agar menjadi kuat dan efisien (small but strength). Sebenarnya dengan lahirnya Undang-Undang Otonomi Daerah dan perangkat peraturannya lainnya, dari segi 'cakupan tugas' negara itu, Indonesia sudah 'on the right track' (pada koridor yang benar).
Sementara kepada Bush (Amerika Serikat dan sekutunya) Fukuyama menasihatkan agar mereka secara tulus membantu untuk memperkuat negera-negara berkembang seperti Indonesia, agar negara itu menjadi kuat dan sefisien. Dengan demikian mereka akan mampu menegakan hukum, tanpa harus menebarkan ancaman, paksaan dan kecemasan yang berlebihan, termasuk dalam memerangi terorisme. 'Biarkan mereka sendiri yang menghadapi teroris. Tidak perlu Amerika atau Australia memburu teroris sampai ke dalam negeri mereka, walaupun yang dituduh teroris itu mungkin presiden mereka sendiri.'
Penulis, Prof.Usman Pelly,MA,Ph.D , adalah Antropolog, Universitas Negeri Medan
Waspada online
----------
Orang kita sudah lama mendalami falsafah hidupnya sendiri, yaitu: Tuhan YME tidak akan merubah kondisi sebuah bangsa dan negara menjadi lebih baik daripada sekarang dan masa lalu, selama rakyat dan bangsa itu tak ada kemauan kuat untuk merubah nasibnya sendiri". Dus, meskipun Bush, Putin, PM Jepang, PM China mau membantu bila orang kita sendiri malas berubah, tak pernah ada perubahan itu. Dan setiap perubahan ke arah yg lebih baik itu, di negeri kita, selalu mereka lihat dari para pemimpinnya dulu. kalau mereka bersih, baik, jujur, paham penderitaan rakyat ... mereka akan mengikuti sang pemimpinnya. Tapi kalau sang pemimpinnya sontoloyo, maka mereka semua bersikap 'inggih-inggih ora kepanggih'